BAB I
P E N D A H U L U A N
Konflik dapat dilatarbelakangi oleh
banyak hal. Konflik internal suatu negara bisa disebabkan oleh banyak hal, baik
konflik politik, ekonomi, perda-gangan, etnis, perbatasan dan sebagainya.
Tentulah kedua belah pihak maupun pihak luar yang menyaksikan menginginkan
konflik dapat diakhiri.
Konflik dalam kehidupan manusia merupakan hal yang manusiawi, alami dan
berpotensi terjadi setiap kali. Konflik terjadi bila ada ketidaksepahaman atau
pertentangan atas suatu obyek yang sama, ataupun memiliki sasaran-sasaran yang
berbeda atas suatu obyek yang sama. Yang terpenting dari suatu konflik adalah
ditemukannya keluaran atau solusi atas konflik tersebut.
Dalam setiap konflik selalu dicari
jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah
pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan
pihak ketiga untuk menengahi dan mencari jalan keluar baik oleh negara atau
sebagai Organisasi Regional bahkan Organisasi Internasional.
Konflik terjadi ketika dua atau
lebih pihak menganggap bahwa kepenting-an mereka tidak sesuai dengan
kepentingan satu sama lain; mengungkapkan sikap bermusuhan atau mengejar
kepentingan-kepentingan mereka dengan mengambil tindakan yang menyakiti pihak
lain. Pihak-pihak ini dapat berupa individu, kelompok kecil atau besar dan
negara.
Konflik bisa mempunyai berbagai
macam sebab, seperti atas sumber daya, misalnya tanah, uang, energi, makanan
dan distribusi sumber-sumber tersebut; atas kekuasaan, misalnya kontrol dan
partisipasi dalam kehidupan politik. Hal ini sering terjadi antar partai-partai
politik atau elit-elit politik; atas identitas, misalnya budaya, identitas
sosial (perbedaan kelas sosial) atau politik; dan atas nilai-nilai, misalnya
ideologi.
Konflik sangat susah untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat, perselisihan
yang seringkali terjadi adalah terdapatnya perbedaan kepentingan yang saling
berlawanan. Konflik dapat dilihat dalam dua dimensi, yaitu[1]:
1. Suatu perspektif atau sudut pandang dimana konflik
dianggap selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur
sosial.
2. Pertikaian terbuka, baik itu yang berbentuk peperangan,
revolusi, pemogokan, pergerakan, dan perlawanan.
Masalah konflik juga menjadi
fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan
kondisi Negara Indonesia yang serba multi dengan segala macam kemajemukan dan
heterogenitas. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari multi etnis
dan multi budaya[2], bahkan dewasa
ini Indonesia telah menjadi negara yang multi partai dalam sistem politiknya.
Kondisi yang demikian itu tidak dapat menghindarkan masyarakatnya dari
timbulnya berbagai bentuk konflik.
Perspektif masyarakat model
konflik adalah perspektif yang diturunkan dari pendekatan konflik Michalowski[3],
sebagai sebuah model dalam mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik
menekankan pada sistem hukum yang bersifat memaksa dan koersif. Adapun
prinsip-prinsip pengaturan dalam perspektif masyarakat model konflik adalah:
1. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang
berbeda.
2. Terdapat defenisi yang berbeda mengenai benar dan
salah.
3. Konflik antara kelompok sosial merupakan konflik
kekuasaan politik.
4. Hukum dirancang untuk mempertahankan kepentingan
penguasa.
5. Penguasa membuat dan menegakkan hukum dengan tujuan
utama untuk mempertahankan kekuasaan.
Konflik, sengketa, pelanggaran
atau pertikaian antara dua individu atau lebih dewasa ini seakan menjadi
fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia
hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu
diproses secara hukum oleh peradilan. Fenomena ini tentunya menjadi tantangan
dari sistem peradilan pidana Indonesia.
Seringkali konflik-konflik seperti ini menghindari proses pengorganisasian
masyarakat. Oleh karena itu, mediasi dan cara penyelesaian konflik yang
lain menjadi salah satu alat untuk memfasilitasi proses
pengorganisasian. Mediasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau
mentransformasikan konflik. Mediasi merupakan proses dimana pihak ketiga yang
netral membantu menyelesaikan konflik antar dua belah pihak.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian
Konflik
1. Pengertian
Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal
dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Menurut
Antonius, dkk, konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat
menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat
terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.[4]
Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan
resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar
individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan.[5]
Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu
hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai
dalam sekelompok individu.[6]
Hunt and Metcalf membagi konflik menjadi dua
jenis, yaitu intra-personal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal
conflict (konflik interpersonal).[7]
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri,
misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai
budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik
intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan
baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental
hygiene) individu yang bersang-kutan.
Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang
terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial,
seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara.
Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam
sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup
conflict).
2. Jenis-Jenis
Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan
untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada
pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
- Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional
Conflict).[8] Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional
adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi
suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula,
konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu
yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional.[9]
- Konflik
Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner, Freeman and
Gilbert membagi konflik menjadi enam
macam, yaitu[10]:
1) Konflik
dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
3) Konflik
antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok
tempat ia bekerja.
4) Konflik
antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki
tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif
bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat
sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi
anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang
menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
- Konflik
Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang
dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai
berikut[11]:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki
kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan
bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar
karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi
sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih
dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di
atas, ada juga klasifikasi lain yang membagi konflik atas: substantive
conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive
conflict.
3. Faktor
Penyebab Konflik
Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya
(antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.[12]
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik.
Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran
informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan
penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya
konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota
dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa
ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan makin khusus kegiatannya, maka semakin besar
pula kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies)
dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan
menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok
terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam
bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
B. Pengertian
Resolusi Konflik
1. Pengertian
Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict
resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus
meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine
adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan
atau penghilangan permasalahan.[13]
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman,
mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah
bersama (solve a problem together).[14]
Lain halnya dengan Simon Fisher, dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik
adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru
yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.[15]
Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan
untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting
dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian
untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembang-kan rasa keadilan.[16]
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah
suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan
individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan
cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik
dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk meme-cahkan
masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang
bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan
masalahnya.
2. Kemampuan
Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta,
merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan
inisiatif resolusi konflik diantaranya[17]:
- Kemampuan
orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi
pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan,
kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
- Kemampuan
persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang
untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda,
mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk
menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
- Kemampuan
emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup
kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa
marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
- Kemampuan
komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi
kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan bicara; berbicara dengan
bahasa yang mudah dipahami; dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang
bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.
- Kemampuan
berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik
meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi
macam alternatif jalan keluar.
- Kemampuan
berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik,
yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang
sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell juga menyebutkan
aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi
sebuah konflik meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai
perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi.[18]
Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita
ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan
tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan tersebut di
antaranya yaitu kemampuan orientasi, kemampuan persepsi atau menghargai
perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis.
3.
Pelaksanaan
Resolusi Konflik
Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan mencari solusinya,
konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah yang harus
diselesaikan. Sebagaimana pengertian di atas, resolusi konflik artinya adalah
suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan
konflik dengan damai.[19]
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi
konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok yang berselisih menjadi
sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di antaranya adalah sebagai
berikut[20]:
1.
Commitment => Negotiation
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan
posisinya dan tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain, namun
konflik dapat diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi
untuk mencapai kesepakatan yang dapat menguntungkan seluruh pihak.
Negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota
atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik,
menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan. Negosiasi terkadang
lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti negosiasi
distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan
secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang lebih baik
dari pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh Roger Fisher and
William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk bekerjasama dengan anggota
kelompok untuk meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang integratif yang
menguntungkan kedua belah pihak.[21] Fisher dan
Ury juga menyarankan anggota kelompok untuk membuat sesi penyelesaian masalah
dan bekerja sama untuk menemukan solusi.[22]
2.
Misperception => Understanding
Konflik seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang sering
menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka namun pada
kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka
mengira ketika orang lain mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang
mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain
tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka.
Anggota kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu dengan cara
berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi.
Komunikasi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat
kesalahpahaman serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota
kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang”
bagi kelompok dengan adanya “curahan hati” dari anggota kelompok yang
menunjukkan kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.
3.
Strong Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa
dari mereka hanya melihat kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan
hilang dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya mendiskusikan masalah
mereka, terkadang dengan tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan
keras. Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam
konflik tersebut. Dan mirisnya, ada anggota yang menggunakan kekerasan fisik.
Taktik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori
yaitu:
a. Avoiding
Pada dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari konflik tersebut
dan berharap konflik itu akan hilang dengan sendirinya. Orang-orang yang
mengadopsi taktik ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan
pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
b. Yielding
Anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah yang besar maupun kecil dengan
menyerahkan keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses diskusi dan
negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui
gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat
pola fikir anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat lainnya ataupun
tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c. Fighting
Pada sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik dengan memaksa
anggota lainnya untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat konflik sebagai
situasi menang-kalah dan menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk
mengintimidasi anggota yang lain.
d. Cooperating
Anggota yang mengandalkan kerjasama dalam mengatasi konflik cenderung
mencari solusi yang dapat diterima semua pihak. Mereka tidak memaksakan
kehendak dan kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan
dan mencari solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut
sebagai win-win solution karena mengganggap hasil yang menyangkut orang
lain merupakan hasil mereka juga.
Metode avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif
karena berpotensi melahirkan konflik yang baru dan membiarkan konflik yang ada
sehingga tidak terselesaikan. Di lain pihak metode yielding dan cooperating
merupakan metode yang baik dan menghasilkan solusi yang dapat diterima semua
pihak. Sedangkan metode fighting dan cooperating merupakan metode
yang aktif karena adanya usaha nyata untuk menyelesaikan konflik sedangkan
metode avoiding dan yielding merupakan metode yang pasif.
4.
Upward => Downward Conflict Spirals
Kerjasama yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu yang panjang
dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus
bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami.
Ketika seseorang tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing
untuk mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat
menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah
strategi tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi kemudian meniru
pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain, orang akan bersaing jika
orang lain bersaing dan orang akan bekerjasama jika orang lain bekerjasama.
5.
Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah
satu pihak melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak
ketiga (netral) dapat membantu meredakan konflik dengan cara:
- Meredakan
frustasi dan kebencian dengan memberi kedua belah pihak sebuah kesempatan
untuk mengungkapkan perasaan mereka;
- Jika
komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan
masalah;
- Pihak
ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan
membebankan kesalahan pada diri mereka sendiri;
- Pihak
ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua
pihak;
- Pihak
ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi,
tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda;
- Pihak
ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah
secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak ingin menyelesaikan konflik dengan cara mereka
sendiri, maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang
tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan mereka di dalam kelompok.
Di dalam prosedur inquisitorial, pihak ketiga akan memberikan
pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan hasil yang harus diterima
semua pihak. Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan
argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan membuat sebuah keputusan
berdasarkan argumen yang diberikan. Di dalam moot kedua pihak dan
pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal tentang
masalah dan solusi yang memungkinkan.
6.
Anger => Composure
Ketika
keadaan “memanas”, anggota kelompok yang bertentangan harus mampu
mengontrol emosi mereka. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah
dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok.
Humor dapat memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang negatif
seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya seperti pelarangan
penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.
BAB III
K E S I M P U L A N
Resolusi konflik adalah
sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami
sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian membuat
resolusi terhadap konflik. Dengan kata lain, resolusi konflik dapat diartikan
sebagai penyelesaian konflik atau upaya penanganan suatu konflik. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik adalah usaha yang dilakukan untuk
menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang
terlibat di dalam konflik.
Resolusi konflik
memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa konflik itu ada dan diarahkan pada
keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan
secara efektif. Selain itu, agar kita memahami gaya dari resolusi konflik dan
mendefinisikan kembali jalan pintas ke arah pembaharuan penyelesaian konflik. Resolusi
konflik difokuskan pada sumber konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama
mengidentifikasikan isu- isu yang lebih nyata. Selain itu, resolusi konflik
dipahami pula sebagai upaya dalam menyelesaikan dan mengakhiri konflik.
Konflik dapat terjadi
dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi
harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar
tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan
terjadinya konflik. Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik.
Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih
strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas
konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akan diperoleh
pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
terjadi dalam organisasi.
Kehadiran konflik dalam
suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya dapat dieliminir. Konflik
dalam organisasi dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu
pimpinan maupun individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun
konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tidak semua konflik
merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat
berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu kesatuan, sebaliknya apabila
konflik tidak ditangani dengan baik serta mengalami eskalasi secara terbuka
dapat merugikan kepentingan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher,
Simon, dkk. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak,
Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, Jakarta: The British
Counsil, Indonesia, 2001.
Fisher,
Roger and Ury, William, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random House
Business Books, 1983.
Forsyth, Donelson R., An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing
Company, 1983.
Gea,
Antonius Atosokhi, dkk, Relasi Dengan Sesama Jakarta: Elex Media Komputindo,
2002.
Hunt,
M.P. and Metcalf, L., Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas, in Educating
The Democratic Mind (W. Parker) New York: State University of New York
Press, 1996.
Kuper, Adam and Kuper, Jesica, Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Maftuh,
Bunyamin, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu
Menyelesaikan Konflik Secara Damai Bandung: Program Pendidikan
Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.
Michalowski, Raymond J., “Perspectives
and Paradigm: Structuring Criminological Thought”, in Robert F. Meier, ed.,
Theory in Criminology Beverly Hills, CA: Sage, 1977.
Robbins,
Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi
Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Jakarta: Arcan, 1994.
Scanell,
Mary, The Big Book of Conflict Resolution Games United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010.
Stoner,
James A.F., Freeman, R. Edward, and Gilbert, Daniel R., Manajemen, Jilid
II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: Prenhallindo,1996.
Suparlan, Parsudi, “Hubungan Antar Suku Bangsa”
t.tp: KIK Press, 2004.
Winardi,
Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan Pertama,
Bandung: Mandar Maju, 1994.
[1] Adam Kuper & Jesica
Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h.
155.
[3] Raymond J.
Michalowski, “Perspectives and Paradigm: Structuring Criminological Thought”,
in Robert F. Meier, ed., Theory in Criminology (Beverly Hills, CA: Sage,
1977), h. 25.
[4] Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi
Dengan Sesama (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), h. 175.
[5] Bunyamin Maftuh, Pendidikan
Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara
Damai (Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan
Indonesia, 2005), h. 47.
[6] Mary Scanell, The Big Book of
Conflict Resolution Games (United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc, 2010), h. 2.
[7] M.P. Hunt and L. Metcalf, Ratio
and Inquiry on Society’s Closed Areas dalam Educating The Democratic
Mind (W. Parker) (New York: State University of New York Press, 1996), h.
97.
[8] Stephen P. Robbins, Teori
Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf
Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994), h. 430.
[9] Ibid.
[10] James A.F. Stoner, R. Edward
Freeman, and Daniel R. Gilbert. 1996. Manajemen, Jilid II, Alih Bahasa
Alexander Sindoro, (Jakarta: Prenhallindo,1996), h. 393.
[11] Winardi, Manajemen Konflik
(Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan Pertama, (Bandung: Mandar
Maju, 1994), h. 174.
[12] Stephen P. Robbins, Teori
Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf
Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994), h. 431-433.
[13] Stewart Levine,
Getting to Resolution (Turning Conflict into Collaboration) (San
Fransisco: Berrett Koehler Publishers Inc, 1998), h. 3.
[14] Deutsch Morton, and Peter T.
Coleman, The Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (San Fransisco:
Jossey-Bass Publisher, 2006), h. 197.
[15] Simon Fisher, dkk, Mengelola
Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih
Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, (Jakarta: The British Counsil, Indonesia, 2001),
h. 7.
[16] Gayle Mindes, (2006). Teaching
Young Children Social Studies (United States of America: Praeger
Publishers, 2006), h. 24.
[17] Tricia S. Jones and Dan
Kmitta, School Conflict Management: Evaluating Your Conflict Resolution
Education Program (Ohio: Ohio Commission on Dispute Resolution &
Conflict Management, 2001), h. 2.
[18] Mary Scanell, The Big Book of
Conflict Resolution Games (United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc, 2010), h. 18.
[19] Donelson R. Forsyth, An Introduction To Group Dynamics (California:
Brooks/Cole Publishing Company, 1983), h.
[20] Donelson R. Forsyth, An Introduction To Group Dynamics (California:
Brooks/Cole Publishing Company, 1983), h.
[21] Roger Fisher and William Ury, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random
House Business Books, 1983), h. xiiv.