Minggu, 15 September 2019

BIMBINGAN PENULISAN KARYA ILMIAH MAHASISWA DAN DIGITALISASI

WAHYU WIJI UTOMO BIMBINGAN KARTIMAH 1



WAHYU WIJI UTOMO BIMBINGAN KARTIMAH 2



WAHYU WIJI UTOMO BIMBINGAN KARTIMAH 3



WAHYU WIJI UTOMO BIMBINGAN KARTIMAH 4


WAHYU WIJI UTOMO BIMBINGAN KARTIMAH 5





Minggu, 23 Oktober 2016

AGAMA DAN POTENSI KONFLIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Sepanjang 2012, publik Indonesia disuguhi berbagai macam kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sebagaimana dicataThe Wahid Institute, terdapat 274 kasus pelanggaran intoleransi. Angka itu meningkat dibanding dua tahun sebelumnya. Tercatat, 180 kasus pada 2010. Sementara tahun 2011 bertambah menjadi 267 kasus. Tentu, peningkatan kekerasan atas nama agama dari tahun ke tahun tersebut merupakan preseden buruk. Terlebih, Indonesia dihuni beberapa pemeluk agama. Jika penaikan angka kekerasan itu tidak diantisipasi, dikhawatirkan tahun ini bakal meningkat lagi. Maka itu, perlu pendidikan kerukunan antarumat beragama sejak dini.
Dari beberapa sumber ada sejumlah aktor negara yang melanggar. Sebanyak 57 pelanggaran dilakukan oleh kepolisian. Disusul Satpol PP dengan jumlah 34 tindakan. Berlanjut 32 tindakan dan 10 tindakan yang berurutan dilakukan oleh pemerintah kabupaten, dan tentara dan aparat lain. Sedangkan aktor nonnegara, dilakukan oleh FPI, kelompok masyarakat, individu, MUI yang masing-masing memiliki interval 52 tindakan, 52, 25, dan 24 tindakan.
Selain catatan kekerasan di atas, terdapat juga kekerasan yang menerobos batas toleransi. Dalam soal ini, yang menjadi korban paling menonjol adalah umat Kristiani. Penutupan 21 gereja di Aceh Singkil pertengahan tahun lalu merupakan bukti. Kasus intoleransi yang sempat menyita perhatian yaitu kasus di Sampang, Madura, yang melibatkan dua kelompok keagamaan: Syiah dan Sunni.
Catatan tersebut di atas merupakan bukti sahih bahwa semangat toleransi masih perlu didukung sepenuhnya. Semua lapisan masyarakat harus faham  bahwa untuk membangun bangsa majemuk ini, tidak bisa hanya mendasarkan pada egoisme kelompok yang berujung pada vandalisme. Vandalisme mesti dikurung dalam  ingatan sejarah dan pelajaran berharga, kemudian diharapkan tidak diulang lagi. Karena berbagai potensi konflik agama yang ada, akan menimbulakan masalah yang lebih besar lagi.


B.  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimanakah Pengertian Agama ?
2.   Bagaimanakah Hubungan Antar Agama Di Indonesia?
3.   Apa Sajakah Potensi Konflik Dalam Agama?
4.   Bagaimanakah Kebijakan Pemerintah Dalam Kerukunan Umat Beragama ?
5.   Bagaimanakah Upaya Pencegahan Konflik Antar Ummat Beragama ?

C.  TUJUAN PEMBAHASAN

Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar kita selaku akademisi mengetahui tentang :
1.    Bagaimana Pengertian Agama
2.  Bagaimana Hubungan Antar Agama Di Indonesia
3.  Apa Saja Potensi Konflik Dalam Agama
4.  Bagaimana Kebijakan Pemerintah Dalam Kerukunan Umat Beragama
5.  Bagaimana Upaya Pencegahan Konflik Antar Ummat Beragama


BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AGAMA
Banyak sekali definisi dan pengertian agama, baik dari tokoh-tokoh agama maupun filosof yang menguraikan tentang agama, secara berbeda­, agama dari segi etimologi berasal dari dua kata bahasa sanskerta yaitu; A: tidak dan Gama: kacau, kocar­-kacir, berantakan, Jadi pengertian agama adalah tidak kacau, kocar-kacir atau tidak berantakan, atau agama itu teratur, dan beres.
Disisi lain ada yang mendefinisikan pengertian agama yaitu ; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk. Berikut ini beberapa dari definisi dan pengertian agama dari para tokoh-tokoh yang lain:
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya.
Menurut Prof. Dr. Bouquet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supernatur, dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan absolute yang disebut Tuhan. [1]
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacara­upacara yang simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi. Dengan bertolak dari beberapa pengertian agama, Harun Nasution merumuskan delapan pengertian agama sebagai berikut:
  1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
  2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
  3. Mengingatkan diri pada suatu bentuk yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatannya.
  4. Kepercayaan kepada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
  5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
  6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber dari kekuatan gaib.
  7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan yang misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
  8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.[2]

Dari uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa: Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.

B. HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.[4][5] Walaupun pemerintah Indonesia mengakui kebebasan untuk memeluk agama namun, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama. Sebagai hasilnya, Buddha dan Khonghucu secara tidak langsung telah diasingkan.
Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam. Hal ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus Poso pada tahun 2005.[3]
Dari sebuah poling yang dilakukan maka bisa dilihat tentang unsur unsur yang merupakan bahaya terbesar bagai kelangsungan hidup sebagai suatu negara sebagai berikut


Tabel
No
Opsi
Persentase
1
Kesenjangan sosial antaara si kaya dan miskin
50,39%
2
Pertikaian antar penganut agama
30,37%
3
Kerusuhan rasial
19,11%
Sumber diolah dari majalah TEMPO

Dalam poling tidak disebutkan berapa N jumlah responden secara riil. Sementaara itu selisih jumlah persentase dibulatkan ke ata untuk menjadi 100%  hasil angket yang didapat majalah TEMPO diatas walaupun belum secara pasti dapat di jadikan pegangan setidak-tidaknya dapat memeberi indikasi kuat bahwa  pertikaian antara penganut agama masih dianggap faktor yang membhayakan kelansungan hidup bangsa. Sementara itu frekuensi sebesar 30,37 % (sepertiga) merupakan jumlah yang harus diperhatikan[4]. Meskipun faktor agama bukan menjadi faktor yang dominan namun kita tidak boleh menutup mata, bahkan mencoba menutup-nutupi seolah-olah tidak ada. Berbagai peristiwaa kendati disebutkan bukan konflik agama, naamun sangat jelas adanya simbol-simbol agama yang menjadi sasaran keberingasan masa.[5] 
Melihat hal ini Pemerintah berusahaa untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut. Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia.


C. POTENSI KONFLIK
Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan, kessatuan bangsa dan integerasi umat beragama dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan hidup bersama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah tersebut adalah masalah kerukunan nasional, termasuk didalamnya hubungan antar umat beragama yang harmonis dan integeratif. Persoalan ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehinggaterganggu kebersamaan dalam membangun peradaban universal. Demikan pula kebanggan terhadap kerukunan dirasakan selama bertahun-tahun mengalami degradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegerasi bangsa[6]Biarpun pemerintah tengah berjuang untuk menghadapi ketegangan antar internal maupun antar umat beragama namun kita tidak bisa menutup mata bahawa potensi konflik yang menyulut hal tersebut dapat terjadi selalu ada disekitar kita. Adapun beberapa potensi konflik yang menjadi faktor ketidaak harmonisan dalam beragama dinataranya adalah :

1. Faktor Politik.
Faktor Politik adalah faktor yang paling sering muncul dalam berbagai masalah konflik yag berbau SARA terutama konflik yang bermuatan agama. Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di berbagai daerah di negeri ini selalu disertai dengan kepentingan politik kalangan tertentu, terlepas dari beragam analisis yang ada selalu saja ada pihak yang berkepentingan yang selalu mengambil keuntunagan dari kondisi yang terjadi.
Hal ini sangat dimungkinkan sekali mengingat bahawa ketika kita berbicara tentang agama, maka sebenarnya kita tengah mendiskusikan hal yang paling sensitif yakni masalah keyakinan yang rentan akan konflik. Maka dari itu konflik agama tidak jarang dimanfaaatkan segelintir pihak untuk menjadikanya sebagai pengalihan isu yang ada  atau mendaptkan keuntungan tertentu.
Contoh kasus yaitu adalah kasus tragedi syiah disampang jawa timur bila kita amtai kronologis tragedi tersebut sangat kental dengan nuansa politik. Sebenarnya kasus ini karena persoalan keluarga, bukan karena paham agama. Akan tetapi, pada akhirnya konflik keluarga itu lalu berubah bernuansa SARA bermula dari kalangan masyarakat tersebar isu bahwa paham yang dianut oleh Ustadz Tajul Muluk merupakan ajaran Islam sesat. Jadi ada semacam perebutan pengaruh pada masyarakat antara Ustadz Tajul dengan Kiai Rois yang sebenarnya mereka itu masih bersaudara.
Di Desa Karang Gayam sendiri, penganut aliran Syiah sebenarnya sangat sedikit. Aliran Islam ini masuk ke Sampang sekitar tahun 2007, saat Ustat Tajul Muluk kembali pulang kampung setelah belajar di salah satu pesantren aliran Syiah di Pasuruan.
Ketika itu ia merupakan warga satu-satunya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Ombem, yang menganut aliran Islam Syiah. Akan tetapi, lama kelamaan Ustadz Tajul banyak memiliki pengikut hingga akhirnya mencapai sekitar 100 orang lebih. Bahkan banyak santri mengaji saudaranya Kiai Rois yang pindah belajar agama terhadap Ustadz Tajul Muluk.
Dari perseteruan itulah lalu timbul isu di kalangan masyarakat bahwa Islam yang dianut oleh Ustadz Tajul ini adalah aliran Islam yang sesat. Padahal Islam Syiah bukan masuk kategori aliran Islam sesat," yang berujung pada tragedi sampang. Akibat insiden tersebut, setidaknya terdapat 37 rumah milik pengikut Syiah hangus dibakar warga hingga rata dengan tanah serta beberapa orang mengalami luka-luka, dan dua orang tewas.[7]
dari contoh kasus yang ada tersebut bisa kita lihat bahwa banyak sekali konflik yang berbau SARA dindonesia terutama konflik agama tidak terlepas dari faktor politik yang ada.
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi menjadi faktor yang cukup jelas sebagai pemicu potensi konflik agama, karena seperti yang kita tahu kesenjangan antara si kaya dan simiskin menjadi jurang pemisah yang cukup dalam untuk menjerumuskan seseorang tersesat dalam pilihan hidupnya, sehingga menagkibatkan gesekan yang sangat prinsipil sekali seperti dalam hal keyakinan seseorang. Dibeberapa kasus bisa kita lihat bahwa faktor ekonomi menjadi faktor penting terjadinya sebuah konflik
Sebagai contoh dengan dalil membantu orang miskin, sebuah kelompok memberikan bantuan bahan makanan dan obat-obatan. Tetapi bantuan ini disertai dengan paksaan terhada orang miskin utuk memeluk agam tertentu. Banyak contoh dapat dikemukakan tentang kegiatan bujukan golongan kristen katolik kepada pemeluk islam yang lemah dan bodoh seperti kasus di desa cigugur kuningan yang menjadikan para petani sebagai sasaranya, para petani itu dibantu bulgur 15 kg, tetapi dengan imbalan harus membubuhkan tanda tangan dalam formulir keanggotaan petani pancasila, ormas tani katolik. Hal yang sama terjadi di surabaya (jawa timur) ketika terjadi banjir diwilayah ini, PATI (jawa tengah) pulau banada dan berbagai daerah lainya. [8]

3. Faktor  Hukum
Dalam hal ini faktor lemahnya hukum juga bisa menjadi faktor penyebab pemicu potensi konflik agama, karena apabila hukum tidak ditegakkan dengan baik maka akan menimbulkan masalah yang lebih membahayakan dan akan menimbulkan potensi konflik dalam agama. Sebagai contoh yaitu, Perusakan rumah ibadat dan sarana-sarana sosial milik kristen/kaatolik yang dilakukan umat islam maupun sebaliknya seluruhnya merupakan reaksi atas apa yang mereka pandang tidak selayaknya dilakukan terhadap diri mereka. Artinya tidak ada satupun perusakan yang tidak didahului oleh kasus tertentu yang membuat mereka melakukan perusakan. Pelemparan batu terhadap beberapa gereja di makassar misalnya, didahului oleh penghinaan seorang pendeta terhadap Nabi Muhamad SAW. Kalau bukan karen alaasan tersebut, dapat dipastikan bahwa gereja atau saarana pelayanan sosial yang mereka rusak, seperti dikatakan sebelumnya.
            Akan tetapi sebelum terjadi perusakan, umat islam ditempat tersebut selalu menyampaikan keberatanya kepada aparat setempat. Bahkan dalam kasus makasar berkaitan dengan kasus penghinaan Nabi Muhamad SAW itu pun mereka telah terlebih dahulu mendatangi pendeta yang bersangkutaan, dan memintanya untuk menyampaaikan permohonan maaf kepada umat islam. Tetapi permintaan tersebut tidak dihiraukan. Karena itu mereka mereka mendatangi pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan. Sayangnya ketika umat islam yang gelisah mengahadapi semuanya itu melaporkanya kepada pihak-pihak yang mereka anggap berwenang menangani maslaha tersebut mereka tidak mendapatkan jaawaban yang memuaskan. Sikap seperti ini membuat umat islam dihinggapi feel of powerlessness, suatu perasaa tidaak berdaya seolah-olah tidak ada perlindungan dan jaminan hukum terhadap kepentingan (keyakinan) meeka dari pelanggaran golongan lain. Dan apabila perasaan tidak berdaya itu timbul, maka umat isalm itu akan mengambil tindakan-tindakan yang bersifat fisik dalam bentuk perusakan gereja.[9]
            Pemerintahh sendiri sulit mengambil tindakan terhadap apa yang dilakukan oleh penganut agama kristen/katolik yang oleh umat islam dipandang sebagai “pelanggaran” teersebut. Sebab, hingg saat ini belum ada undang-undang atau peraturan dan ketetapan yangg mengatur semuanya ittu. Artinya membangun tempat ibadah oleh pemeluk agama tetentu, ditempat atau wilayah yang disitu tidak ada jemaatnya, sama sekali tidak ada aturan yang melarangnya. Dengan demimkian, dari segi hukum, pembangunan tempat ibadah seperti itu, tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran, sehingga tidak ada pula sangsi hukumnya. Tiadanya kepastian hukum seperti inilah yang agaknya yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok agama tertentu untuk membangun tempat-tempat ibadah diwilayah yang tidak ada jemaatnya itu. Maka dari itu disaat seperti inilah peran pemerintah sangat penting untuk menjembatani masalah yang terjadi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang terjadi.

4. Faktor Budaya /Lokalitas Dan Etnisitas.
Faktor ini terutama muncul sebagai akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah etnisitas, Indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan menjadi pemicu dengan menguatnya etnisitas seperti penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial. Faktor lokalitas dan etnistas yang intens ini akan mengakibatkan gesekan religius
Contoh kasus
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh. Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya. Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.[10]  

5. Faktor agama itu sendiri yang meliputi :
Adapun faktor berikutnya adalah faktor yang bersumber dari agama itu sendiri baik secara internal maupun eksternal. Faktor yang bersumber dari agama secara tidak langsung sebenarnya yang paling bertanggung jawab dalam mempengaruhi kepribadian dan pola pandang seseorang dalam melihat suatu masalah oleh karena itu, potensi konflik yang muncul karena persoalan agama biasanya dipicu oleh kurangnya pemahaman yang baik dalam melihat persoalan agama dan bagaimana seharusnya tindakan yang diambil terkait konflik agama tersebut serta bagaiamana cara penyelesaianya. Adapun beberapa potensi konflik yang muncul dan sering terjadi karena faktor agama dapat dijabarkan sebagai berikut.:
a)      Pendirian rumah  ibadah. Yaitu apabila dalam  mendirikannya tidak memperhatikan situasi dan kondisi umat beragama baik secara sosial maupun budaya masyarakat setempat.
b)      Penyiaran agama. Apabila dalam  penyiarannya bersifat agitasi dan memaksakan kehendak bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan tidak mau memahami kebenaran agama lain. Apalagi kalau penyiaran agama itu ditujukan kepada orang yang sudah beragama.
c)      Bantuan luar negeri. Walaupun kelihatannya tidak langsung mempengaruhi, namun bantuan tersebut dapat juga memicu konflik baik intern maupun antar agama, karena pemberi bantuan biasanya menitipkan misi tertentu yang harus dilaksanakan.
d)     Perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama akan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut hukum perkawinan, warisan, harta benda, dan akidah.
e)      Perayaan hari besar keagamaan. Apabila perayaan tersebut dilaksanakan tanpa mempertimbangkan situasi, kondisi, dan lokasi masyarakat sekitar, ia juga bisa mamancing ketegangan dengan penganut agama lain.
f)       Penodaan agama. Yaitu suatu perbuatan bersifat melecehkan atau menodai doktrin suatu agama tertentu. Tindakan ini sangat sering terjadi baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok tanpa disadari apalagi dengan sengaja.
g)      Kegiatan aliran sempalan. Adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari doktrin agama yang sudah diyakini kebenarannya ataupun kegiatan tersebut merupakan suatu aliran baru.

Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab konflik, maka masing-masing penganut agama akan berupaya sekuat tenaga menghindarinya sehingga mencegah sedini mungkin terjadinya konflik tersebut. Tindakan ini disebut dengan pencegahan konflik. Namun apabila terlanjur terjadi konflik, Harus diakhiri perilaku kekerasan dan anarkis, di dalamnya melalui persetujuan perdamain. Ini disebut penyelesaian konflik. Ada juga yang dinamakan dengan pengelolaan konflik, yaitu membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perilaku perubahan yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kemudian ada lagi resolusi konflik, yaitu menangani sebab-sebab konflik diantara kelompok-kelompok yang bertikai dan berusaha membangun hubungan baru dan bertahan lama. Lalu yang terakhir adalah transformasi konflik, yaitu mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dan berusaha merubahnya ke arah positif.
Demikian juga dengan mengetahui akar konflik kita tidak mudah terjebak pada rumusan bahwa pertikaian yang terjadi saat ini dikatakan sebagai konflik agama semata-mata. Tanpa mengurangi objektivitas bahwa agama memang mudah dijadikan sumber konflik, karena ikatan emosional yang menyangkut identitas keagamaannya tersebut sesungguhnya yang terjadi di Indonesia tidaklah murni konflik agama, tetapi konflik laten, yakni manifestasi dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintaham masa lalu yang menindas masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan budaya yang dijadikan alat pemicu, rekayasa politik dalam level lokal maupun nasional.
Agenda membina kerukunan. Patut disadari bahwa kondisi masyarakat yang majemuk kapan saja dapat memicu terjadinya konflik. Untuk itu perlu senantiasa membangun, mempertahankan, memperkuat dan melestariakan kerukunan umat beragama dengan berupaya melakukan beberapa program atau agenda penting. Diantaranya adalah rekonsialisasi (islah) nasional dan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama.
Seperti diketahui bahwa kerapnya terjadi konflik yang bernuansa sara di beberapa wilayah Indonesia beberapa tahun lalu sedikit banyak telah mempengaruhi situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat, sehingga dikhawatirkan antara kelompok agama akan diliputi perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Dengan demikian makin jelas dan mendesak, pentingnya untuk merajut kembali persaudaraan kemanusiaan dan persaudaraan kebangsaan guna merekatkan kembali persatuan dan kesatuan bangsa. Gagasan untuk melakukan rekonsiliasi, rujuk, atau islah nasional adalah suatu tindakan tepat dan bijaksana yang sangat diharapkan oleh masyarakat.

D. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah merupakan upaya bersama antara umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Untuk itu ada tiga pilar utama yang harus menjadi perhatian agar kerukunan tersebut dapat terwujud dalam masyarakat yang multikultural dan plural seperti Indonesia.
1.             Pertama, adanya para pengambil kebijakan publik yang adil dan mampu mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik tersebut terhadap kerukunan beragama.
2.             Kedua, adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai daripada agama institusional.
3.             Ketiga, adanya masyarakat yang berpendidikan dan bersikap rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan dan perubahan sosial
Karena itu untuk mewujudkan kerukunan tersebut  negara membuat undang-undang dan peraturan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama. Salah satunya yang sangat signifikan adalah  Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat.



E. UPAYA PENCEGAHAN KONFLIK ANTAR UMMAT BERAGAMA
Untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya konflik sosial atau konflik antar ummat beragama maka dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan sebagai berikut :
1.             Meningkatkan tarap hidup masyarakat yang dibarengi dengan perbaikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, sebab dalam kenyataannya konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya adalah disebabkan faktor ekonomi dan politik, bukan faktor agama itu sendiri, namun agama dipakai sebagai alat justifikasi dan legitimasi.
2.             Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan agama-agama (bukan ajaran/doktrin agama) kepada masyarakat sehingga masyarakat mengetahui secara pasti tentang tata caranya seperti tata cara pendirian rumah ibadah, tata cara penyiaran agama, tata cara penerimaan bantuan luar negeri untuk kepentingan agama dan lain-lain sebagainya.
3.             Menguatkan kesadaran masyarakat tentang saling memahami dan menghormati posisi masing-masing dan mengedepankan persamaan daripada mempertajam perbedaan.
4.             Melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa sesungguhnya agama itu adalah berasal dari yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan ummat manusia itu juga adalah berasal dari nenek yang satu yaitu Nabi Adam as.
5.             Memberdayakan institusi keagamaan sehingga dapat lebih mempererat institusi persaudaraan dan memperekat kerukunan antar ummat beragama.
6.             Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para penganut agama dan tidak mencampuri urusan akidah / dogma dan ibadah sesuatu agama serta melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan.
7.             Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.
8.             Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog kerjasama antar pimpinan majelis-majelis dan organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar ummat beragama.
9.             Fungsionalisasi pranata lokal seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial (budaya melayu) yang mendukung upaya kerukunan ummat beragama.
10.         Melakukan penegakan hukum (Law Enforcement) terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kerusuhan sosial dan konflik antar ummat beragama.[11]



BAB III
KESIMPULAN

Keanekaragaman agama dan budaya di Indonesia adalah dintara modal dasar dalam mendukung pembangunan, namun sekaligus dapat menjadi penghambat. Apabila perbedaan tersebut dikelola dengan baik, maka terciptalah kerukunan hidup dalam masyarakat yang akan mendukung pembangunan nasional. Namun sebaliknya, apabila salah mengelolanya justru akan menghambat kelancaran pembangunan nasional.
Konflik agama tidak hanya sekedar berlandaskan keyakinan akan Tuhan. Akan tetapi, di dalamnya terdapat pula aspek-aspek lain yang dapat memicu terjadinya konflik. Aspek-aspek tersebut mencakup politik, sosial budaya, sosial ekonomi, serta struktural yang ada. Oleh karena itu, masyarakat diakatakan dewasa dan berkepribadian diukur dari bagaimana menyelesaikan konflik yang terjadi tanpa menimbulkan dampak yang destruktif.
Disamping itu perlu disadari bahwa potensi terjadinya konflik di dalam agama sama sekali ttidak bisa dihilangkan, karena bagaimanapun juga potensi tersebut akan tetap ada disekitar kita selama sentimen dan fanatisme agama tidak bisa dihilangkan, dan tugas bagi kita bersamalah agar konflik didalm agama itu sendiri tidak terjadi dan menjadikan perpecahan.

DAFTAR PUSTAKA


  • Muhammad,Afif. Agama Dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia. Bandung: Marja. 2013 
  • Natsir, M. Mencari Modus Vivendi Antar Umaat Beragama Di Indonesia. Jakarta : Media Dakwah. 1980.
·         Saadi, Zainut Tauhid “Fungsionalisai Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” dalam Ridwan Lubis : Meretas Wawasan Dan Praksis Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia (Cet. I; Jakarta, Puslitbang Kehidupan Umat Beragama) hlm 99-100




[1] Abu Ahmadi. Sejarah Agama. Solo : CV. Ramadhani. 1984.  hlm14
[4] Afif muhammad, Agama Dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia. Bandung: Marja. 2013 Hlm 121
[5] Zainut Tauhid Saadi, “Fungsionalisai Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” dalam Ridwan Lubis : Meretas Wawasan Dan Praksis Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia (Cet. I; Jakarta, Puslitbang Kehidupan Umat Beragama) hlm 99-100
[6] Arifinsyah, Dialog Global Antar Agama, Membangun Budaya Damai Dalam Kemajemukan. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis 2009 Hlm 204
[7]http://www.antarajatim.com/lihat/berita/69112/kapolres-sampang-kasus-syiah-karena-faktor-sentimen
[8] Afif muhammad, Agama Dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia. Bandung: Marja. 2013 Hlm 115
[9] Natsir, Mencari Modus Vivendi Antar Umaat Beragama Di Indonesia. Jakarta : Media Dakwah. 1980, Hlm 23
[10] Departemen Agama (Muh. Nahar Nahrawi), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), 159

Selasa, 15 April 2014

MAKALAH RESOLUSI KONFLIK


BAB I
P E N D A H U L U A N

Konflik dapat dilatarbelakangi oleh banyak hal. Konflik internal suatu negara bisa disebabkan oleh banyak hal, baik konflik politik, ekonomi, perda-gangan, etnis, perbatasan dan sebagainya. Tentulah kedua belah pihak maupun pihak luar yang menyaksikan menginginkan konflik dapat diakhiri.
Konflik dalam kehidupan manusia merupakan hal yang manusiawi, alami dan berpotensi terjadi setiap kali. Konflik terjadi bila ada ketidaksepahaman atau pertentangan atas suatu obyek yang sama, ataupun memiliki sasaran-sasaran yang berbeda atas suatu obyek yang sama. Yang terpenting dari suatu konflik adalah ditemukannya keluaran atau solusi atas konflik tersebut.
Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan mencari jalan keluar baik oleh negara atau sebagai Organisasi Regional bahkan Organisasi Internasional.
Konflik terjadi ketika dua atau lebih pihak menganggap bahwa kepenting-an mereka tidak sesuai dengan kepentingan satu sama lain; mengungkapkan sikap bermusuhan atau mengejar kepentingan-kepentingan mereka dengan mengambil tindakan yang menyakiti pihak lain. Pihak-pihak ini dapat berupa individu, kelompok kecil atau besar dan negara.
Konflik bisa mempunyai berbagai macam sebab, seperti atas sumber daya, misalnya tanah, uang, energi, makanan dan distribusi sumber-sumber tersebut; atas kekuasaan, misalnya kontrol dan partisipasi dalam kehidupan politik. Hal ini sering terjadi antar partai-partai politik atau elit-elit politik; atas identitas, misalnya budaya, identitas sosial (perbedaan kelas sosial) atau politik; dan atas nilai-nilai, misalnya ideologi.
Konflik sangat susah untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat, perselisihan yang seringkali terjadi adalah terdapatnya perbedaan kepentingan yang saling berlawanan. Konflik dapat dilihat dalam dua dimensi, yaitu[1]:
1.      Suatu perspektif atau sudut pandang dimana konflik dianggap selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial.
2.      Pertikaian terbuka, baik itu yang berbentuk peperangan, revolusi, pemogokan, pergerakan, dan perlawanan.
Masalah konflik juga menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan kondisi Negara Indonesia yang serba multi dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari multi etnis dan multi budaya[2], bahkan dewasa ini Indonesia telah menjadi negara yang multi partai dalam sistem politiknya. Kondisi yang demikian itu tidak dapat menghindarkan masyarakatnya dari timbulnya berbagai bentuk konflik.
Perspektif masyarakat model konflik adalah perspektif yang diturunkan dari pendekatan konflik Michalowski[3], sebagai sebuah model dalam mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada sistem hukum yang bersifat memaksa dan koersif. Adapun prinsip-prinsip pengaturan dalam perspektif masyarakat model konflik adalah:
1.      Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
2.      Terdapat defenisi yang berbeda mengenai benar dan salah.
3.      Konflik antara kelompok sosial merupakan konflik kekuasaan politik.
4.      Hukum dirancang untuk mempertahankan kepentingan penguasa.
5.      Penguasa membuat dan menegakkan hukum dengan tujuan utama untuk mempertahankan kekuasaan.
Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara dua individu atau lebih dewasa ini seakan menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Fenomena ini tentunya menjadi tantangan dari sistem peradilan pidana Indonesia.
Seringkali konflik-konflik seperti ini menghindari proses pengorganisasian masyarakat. Oleh karena itu, mediasi dan cara penyelesaian konflik yang lain menjadi salah satu alat untuk memfasilitasi proses pengorganisasian. Mediasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau mentransformasikan konflik. Mediasi merupakan proses dimana pihak ketiga yang netral membantu menyelesaikan konflik antar dua belah pihak.


BAB II
P E M B A H A S A N

A.    Pengertian Konflik
1.      Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk, konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.[4] Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan.[5]
Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu.[6]
Hunt and Metcalf membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intra-personal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal).[7] Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu yang bersang-kutan.
Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict).

2.      Jenis-Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.

  1. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).[8] Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.[9]

  1. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner, Freeman and Gilbert membagi konflik menjadi enam macam, yaitu[10]:
1)      Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2)      Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3)      Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4)      Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5)      Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama.
6)      Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
  1. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut[11]:
1)      Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2)      Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3)      Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4)      Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.

3.      Faktor Penyebab Konflik
Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.[12]
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan makin khusus kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan  terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.


B.     Pengertian Resolusi Konflik
1.      Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.[13]
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman, mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together).[14] Lain halnya dengan Simon Fisher, dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.[15]
Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembang-kan rasa keadilan.[16]
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk meme-cahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.

2.      Kemampuan Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya[17]:
  1. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
  1. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
  1. Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
  1. Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.
  1. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
  1. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi.[18]
Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi, kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis.

3.      Pelaksanaan Resolusi Konflik
Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan mencari solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Sebagaimana pengertian di atas, resolusi konflik artinya adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik dengan damai.[19]
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok yang berselisih menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di antaranya adalah sebagai berikut[20]:

1.      Commitment => Negotiation
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan posisinya dan tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain,  namun konflik dapat diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang  dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan. Negosiasi terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti negosiasi distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh Roger Fisher and William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk bekerjasama dengan anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang integratif yang menguntungkan kedua belah pihak.[21] Fisher dan Ury juga menyarankan anggota kelompok untuk membuat sesi penyelesaian masalah dan bekerja sama untuk menemukan solusi.[22]

2.      Misperception => Understanding
Konflik seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang  sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka.
Anggota kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” bagi kelompok dengan adanya “curahan hati” dari anggota kelompok yang menunjukkan kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.

3.      Strong Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan keras. Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam konflik tersebut. Dan mirisnya, ada anggota yang menggunakan kekerasan fisik. Taktik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori yaitu:
a.      Avoiding
Pada dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
b.      Yielding
Anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat pola fikir anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c.       Fighting
Pada sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota lainnya untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi menang-kalah dan menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk mengintimidasi anggota yang lain.
d.      Cooperating
Anggota yang mengandalkan kerjasama dalam mengatasi konflik cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win solution karena mengganggap hasil yang menyangkut orang lain merupakan hasil mereka juga.
Metode avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif karena berpotensi melahirkan konflik yang baru dan membiarkan konflik yang ada sehingga tidak terselesaikan. Di lain pihak metode yielding dan cooperating merupakan metode yang baik dan menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak. Sedangkan metode fighting dan cooperating merupakan metode yang aktif karena adanya usaha nyata untuk menyelesaikan konflik sedangkan metode avoiding dan yielding merupakan metode yang pasif.

4.      Upward => Downward Conflict Spirals
Kerjasama yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan orang akan bekerjasama jika orang lain bekerjasama.

5.      Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah satu pihak melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan konflik dengan cara:
  1. Meredakan frustasi dan kebencian dengan memberi kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka;
  2. Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah;
  3. Pihak ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan membebankan kesalahan pada diri mereka sendiri;
  4. Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua pihak;
  5. Pihak ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda;
  6. Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak ingin menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri, maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan mereka di dalam kelompok. Di dalam  prosedur inquisitorial, pihak ketiga akan memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan hasil yang harus diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen yang diberikan. Di dalam moot  kedua pihak dan pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal tentang masalah dan solusi yang memungkinkan.

6.      Anger => Composure
Ketika keadaan “memanas”, anggota kelompok yang bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang negatif seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya seperti pelarangan penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.
  

BAB III
K E S I M P U L A N

Resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Dengan kata lain, resolusi konflik dapat diartikan sebagai penyelesaian konflik atau upaya penanganan suatu konflik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa konflik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas ke arah pembaharuan penyelesaian konflik. Resolusi konflik difokuskan pada sumber konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasikan isu- isu yang lebih nyata. Selain itu, resolusi konflik dipahami pula sebagai upaya dalam menyelesaikan dan mengakhiri konflik.
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik. Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akan diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi.
Kehadiran konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya dapat dieliminir. Konflik dalam organisasi dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu pimpinan maupun individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik serta mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan organisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Simon, dkk. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, Jakarta: The British Counsil, Indonesia, 2001.

Fisher, Roger and Ury, William, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random House Business Books, 1983.

Forsyth, Donelson R., An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1983.

Gea, Antonius Atosokhi, dkk, Relasi Dengan Sesama Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002.

Hunt, M.P. and Metcalf, L., Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas, in Educating The Democratic Mind (W. Parker) New York: State University of New York Press, 1996.

Kuper, Adam and Kuper, Jesica, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Maftuh, Bunyamin, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.

Michalowski, Raymond J., “Perspectives and Paradigm: Structuring Criminological Thought”, in Robert F. Meier, ed., Theory in Criminology Beverly Hills, CA: Sage, 1977.

Robbins, Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Jakarta: Arcan, 1994.

Scanell, Mary, The Big Book of Conflict Resolution Games United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010.

Stoner, James A.F., Freeman, R. Edward, and Gilbert, Daniel R., Manajemen, Jilid II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: Prenhallindo,1996.

Suparlan, Parsudi, “Hubungan Antar Suku Bangsa” t.tp: KIK Press, 2004.

Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan Pertama, Bandung: Mandar Maju, 1994.


[1] Adam Kuper & Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 155.
[2] Parsudi Suparlan, “Hubungan Antar Suku Bangsa” (t.tp: KIK Press, 2004), h. 208.
[3] Raymond J. Michalowski, “Perspectives and Paradigm: Structuring Criminological Thought”, in Robert F. Meier, ed., Theory in Criminology (Beverly Hills, CA: Sage, 1977), h. 25.
[4] Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi Dengan Sesama (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), h. 175.
[5] Bunyamin Maftuh, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai (Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005), h. 47.
[6] Mary Scanell, The Big Book of Conflict Resolution Games (United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010), h. 2.
[7] M.P. Hunt and L. Metcalf, Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas dalam Educating The Democratic Mind (W. Parker) (New York: State University of New York Press, 1996), h. 97.
[8] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994), h. 430.
[9] Ibid.
[10] James A.F. Stoner, R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert. 1996. Manajemen, Jilid II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, (Jakarta: Prenhallindo,1996), h. 393.
[11] Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan Pertama, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 174.
[12] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994), h. 431-433.
[13] Stewart Levine, Getting to Resolution (Turning Conflict into Collaboration) (San Fransisco: Berrett Koehler Publishers Inc, 1998), h. 3.
[14] Deutsch Morton, and Peter T. Coleman, The Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 2006), h. 197.
[15] Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, (Jakarta: The British Counsil, Indonesia, 2001), h. 7.
[16] Gayle Mindes, (2006). Teaching Young Children Social Studies (United States of America: Praeger Publishers, 2006), h. 24.
[17] Tricia S. Jones and Dan Kmitta, School Conflict Management: Evaluating Your Conflict Resolution Education Program (Ohio: Ohio Commission on Dispute Resolution & Conflict Management, 2001), h. 2.
[18] Mary Scanell, The Big Book of Conflict Resolution Games (United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010), h. 18.
[19] Donelson R. Forsyth, An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1983), h.
[20] Donelson R. Forsyth, An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1983), h.
[21] Roger Fisher and William Ury, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random House Business Books, 1983), h. xiiv.
[22] Ibid.