Selasa, 15 April 2014

MAKALAH RESOLUSI KONFLIK


BAB I
P E N D A H U L U A N

Konflik dapat dilatarbelakangi oleh banyak hal. Konflik internal suatu negara bisa disebabkan oleh banyak hal, baik konflik politik, ekonomi, perda-gangan, etnis, perbatasan dan sebagainya. Tentulah kedua belah pihak maupun pihak luar yang menyaksikan menginginkan konflik dapat diakhiri.
Konflik dalam kehidupan manusia merupakan hal yang manusiawi, alami dan berpotensi terjadi setiap kali. Konflik terjadi bila ada ketidaksepahaman atau pertentangan atas suatu obyek yang sama, ataupun memiliki sasaran-sasaran yang berbeda atas suatu obyek yang sama. Yang terpenting dari suatu konflik adalah ditemukannya keluaran atau solusi atas konflik tersebut.
Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan mencari jalan keluar baik oleh negara atau sebagai Organisasi Regional bahkan Organisasi Internasional.
Konflik terjadi ketika dua atau lebih pihak menganggap bahwa kepenting-an mereka tidak sesuai dengan kepentingan satu sama lain; mengungkapkan sikap bermusuhan atau mengejar kepentingan-kepentingan mereka dengan mengambil tindakan yang menyakiti pihak lain. Pihak-pihak ini dapat berupa individu, kelompok kecil atau besar dan negara.
Konflik bisa mempunyai berbagai macam sebab, seperti atas sumber daya, misalnya tanah, uang, energi, makanan dan distribusi sumber-sumber tersebut; atas kekuasaan, misalnya kontrol dan partisipasi dalam kehidupan politik. Hal ini sering terjadi antar partai-partai politik atau elit-elit politik; atas identitas, misalnya budaya, identitas sosial (perbedaan kelas sosial) atau politik; dan atas nilai-nilai, misalnya ideologi.
Konflik sangat susah untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat, perselisihan yang seringkali terjadi adalah terdapatnya perbedaan kepentingan yang saling berlawanan. Konflik dapat dilihat dalam dua dimensi, yaitu[1]:
1.      Suatu perspektif atau sudut pandang dimana konflik dianggap selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial.
2.      Pertikaian terbuka, baik itu yang berbentuk peperangan, revolusi, pemogokan, pergerakan, dan perlawanan.
Masalah konflik juga menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan kondisi Negara Indonesia yang serba multi dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari multi etnis dan multi budaya[2], bahkan dewasa ini Indonesia telah menjadi negara yang multi partai dalam sistem politiknya. Kondisi yang demikian itu tidak dapat menghindarkan masyarakatnya dari timbulnya berbagai bentuk konflik.
Perspektif masyarakat model konflik adalah perspektif yang diturunkan dari pendekatan konflik Michalowski[3], sebagai sebuah model dalam mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada sistem hukum yang bersifat memaksa dan koersif. Adapun prinsip-prinsip pengaturan dalam perspektif masyarakat model konflik adalah:
1.      Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
2.      Terdapat defenisi yang berbeda mengenai benar dan salah.
3.      Konflik antara kelompok sosial merupakan konflik kekuasaan politik.
4.      Hukum dirancang untuk mempertahankan kepentingan penguasa.
5.      Penguasa membuat dan menegakkan hukum dengan tujuan utama untuk mempertahankan kekuasaan.
Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara dua individu atau lebih dewasa ini seakan menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Fenomena ini tentunya menjadi tantangan dari sistem peradilan pidana Indonesia.
Seringkali konflik-konflik seperti ini menghindari proses pengorganisasian masyarakat. Oleh karena itu, mediasi dan cara penyelesaian konflik yang lain menjadi salah satu alat untuk memfasilitasi proses pengorganisasian. Mediasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau mentransformasikan konflik. Mediasi merupakan proses dimana pihak ketiga yang netral membantu menyelesaikan konflik antar dua belah pihak.


BAB II
P E M B A H A S A N

A.    Pengertian Konflik
1.      Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk, konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.[4] Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan.[5]
Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu.[6]
Hunt and Metcalf membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intra-personal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal).[7] Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu yang bersang-kutan.
Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict).

2.      Jenis-Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.

  1. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).[8] Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.[9]

  1. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner, Freeman and Gilbert membagi konflik menjadi enam macam, yaitu[10]:
1)      Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2)      Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3)      Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4)      Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5)      Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama.
6)      Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
  1. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut[11]:
1)      Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2)      Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3)      Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4)      Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.

3.      Faktor Penyebab Konflik
Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.[12]
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan makin khusus kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan  terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.


B.     Pengertian Resolusi Konflik
1.      Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.[13]
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman, mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together).[14] Lain halnya dengan Simon Fisher, dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.[15]
Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembang-kan rasa keadilan.[16]
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk meme-cahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.

2.      Kemampuan Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya[17]:
  1. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
  1. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
  1. Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
  1. Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.
  1. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
  1. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi.[18]
Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi, kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis.

3.      Pelaksanaan Resolusi Konflik
Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan mencari solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Sebagaimana pengertian di atas, resolusi konflik artinya adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik dengan damai.[19]
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok yang berselisih menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di antaranya adalah sebagai berikut[20]:

1.      Commitment => Negotiation
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan posisinya dan tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain,  namun konflik dapat diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang  dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan. Negosiasi terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti negosiasi distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh Roger Fisher and William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk bekerjasama dengan anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang integratif yang menguntungkan kedua belah pihak.[21] Fisher dan Ury juga menyarankan anggota kelompok untuk membuat sesi penyelesaian masalah dan bekerja sama untuk menemukan solusi.[22]

2.      Misperception => Understanding
Konflik seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang  sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka.
Anggota kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” bagi kelompok dengan adanya “curahan hati” dari anggota kelompok yang menunjukkan kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.

3.      Strong Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan keras. Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam konflik tersebut. Dan mirisnya, ada anggota yang menggunakan kekerasan fisik. Taktik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori yaitu:
a.      Avoiding
Pada dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
b.      Yielding
Anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat pola fikir anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c.       Fighting
Pada sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota lainnya untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi menang-kalah dan menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk mengintimidasi anggota yang lain.
d.      Cooperating
Anggota yang mengandalkan kerjasama dalam mengatasi konflik cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win solution karena mengganggap hasil yang menyangkut orang lain merupakan hasil mereka juga.
Metode avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif karena berpotensi melahirkan konflik yang baru dan membiarkan konflik yang ada sehingga tidak terselesaikan. Di lain pihak metode yielding dan cooperating merupakan metode yang baik dan menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak. Sedangkan metode fighting dan cooperating merupakan metode yang aktif karena adanya usaha nyata untuk menyelesaikan konflik sedangkan metode avoiding dan yielding merupakan metode yang pasif.

4.      Upward => Downward Conflict Spirals
Kerjasama yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan orang akan bekerjasama jika orang lain bekerjasama.

5.      Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah satu pihak melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan konflik dengan cara:
  1. Meredakan frustasi dan kebencian dengan memberi kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka;
  2. Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah;
  3. Pihak ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan membebankan kesalahan pada diri mereka sendiri;
  4. Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua pihak;
  5. Pihak ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda;
  6. Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak ingin menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri, maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan mereka di dalam kelompok. Di dalam  prosedur inquisitorial, pihak ketiga akan memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan hasil yang harus diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen yang diberikan. Di dalam moot  kedua pihak dan pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal tentang masalah dan solusi yang memungkinkan.

6.      Anger => Composure
Ketika keadaan “memanas”, anggota kelompok yang bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang negatif seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya seperti pelarangan penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.
  

BAB III
K E S I M P U L A N

Resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Dengan kata lain, resolusi konflik dapat diartikan sebagai penyelesaian konflik atau upaya penanganan suatu konflik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa konflik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas ke arah pembaharuan penyelesaian konflik. Resolusi konflik difokuskan pada sumber konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasikan isu- isu yang lebih nyata. Selain itu, resolusi konflik dipahami pula sebagai upaya dalam menyelesaikan dan mengakhiri konflik.
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik. Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akan diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi.
Kehadiran konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya dapat dieliminir. Konflik dalam organisasi dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu pimpinan maupun individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik serta mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan organisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Simon, dkk. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, Jakarta: The British Counsil, Indonesia, 2001.

Fisher, Roger and Ury, William, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random House Business Books, 1983.

Forsyth, Donelson R., An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1983.

Gea, Antonius Atosokhi, dkk, Relasi Dengan Sesama Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002.

Hunt, M.P. and Metcalf, L., Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas, in Educating The Democratic Mind (W. Parker) New York: State University of New York Press, 1996.

Kuper, Adam and Kuper, Jesica, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Maftuh, Bunyamin, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.

Michalowski, Raymond J., “Perspectives and Paradigm: Structuring Criminological Thought”, in Robert F. Meier, ed., Theory in Criminology Beverly Hills, CA: Sage, 1977.

Robbins, Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Jakarta: Arcan, 1994.

Scanell, Mary, The Big Book of Conflict Resolution Games United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010.

Stoner, James A.F., Freeman, R. Edward, and Gilbert, Daniel R., Manajemen, Jilid II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: Prenhallindo,1996.

Suparlan, Parsudi, “Hubungan Antar Suku Bangsa” t.tp: KIK Press, 2004.

Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan Pertama, Bandung: Mandar Maju, 1994.


[1] Adam Kuper & Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 155.
[2] Parsudi Suparlan, “Hubungan Antar Suku Bangsa” (t.tp: KIK Press, 2004), h. 208.
[3] Raymond J. Michalowski, “Perspectives and Paradigm: Structuring Criminological Thought”, in Robert F. Meier, ed., Theory in Criminology (Beverly Hills, CA: Sage, 1977), h. 25.
[4] Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi Dengan Sesama (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), h. 175.
[5] Bunyamin Maftuh, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai (Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005), h. 47.
[6] Mary Scanell, The Big Book of Conflict Resolution Games (United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010), h. 2.
[7] M.P. Hunt and L. Metcalf, Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas dalam Educating The Democratic Mind (W. Parker) (New York: State University of New York Press, 1996), h. 97.
[8] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994), h. 430.
[9] Ibid.
[10] James A.F. Stoner, R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert. 1996. Manajemen, Jilid II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, (Jakarta: Prenhallindo,1996), h. 393.
[11] Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Cetakan Pertama, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 174.
[12] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994), h. 431-433.
[13] Stewart Levine, Getting to Resolution (Turning Conflict into Collaboration) (San Fransisco: Berrett Koehler Publishers Inc, 1998), h. 3.
[14] Deutsch Morton, and Peter T. Coleman, The Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 2006), h. 197.
[15] Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, (Jakarta: The British Counsil, Indonesia, 2001), h. 7.
[16] Gayle Mindes, (2006). Teaching Young Children Social Studies (United States of America: Praeger Publishers, 2006), h. 24.
[17] Tricia S. Jones and Dan Kmitta, School Conflict Management: Evaluating Your Conflict Resolution Education Program (Ohio: Ohio Commission on Dispute Resolution & Conflict Management, 2001), h. 2.
[18] Mary Scanell, The Big Book of Conflict Resolution Games (United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc, 2010), h. 18.
[19] Donelson R. Forsyth, An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1983), h.
[20] Donelson R. Forsyth, An Introduction To Group Dynamics (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1983), h.
[21] Roger Fisher and William Ury, Getting Yes, 2nd ed, (London: Random House Business Books, 1983), h. xiiv.
[22] Ibid.